Skip to main content

Syarat agar Cap Jempol Sah pada Surat Kuasa Khusus

      Apakah anda pernah mendengar mengenai istilah cap jempol ? Tentu pada zaman sekarang ini barangkali penggunaan cap jempol pada suatu dokumen atau surat salah satunya surat kuasa khusus itu jarang ditemukan di aktivitas sehari sehari ya. Biasanya pada suatu dokumen atau surat pada zaman sekarang ini, hampir rata-rata orang perseorangan atau badan hukum melalui wakilnya lebih menggunakan tanda tangan sebagai tanda pembubuhan pada suatu dokumen, surat maupun akta Otentik.

      Dan terkait judul diatas, ada baiknya sebelum membahas inti dari pada syarat apa yang dibutuhkan agar cap jempol sah pada surat kuasa khusus, baiknya penulis beritahukan terlebih dahulu apa itu Cap Jempol dan apa itu surat kuasa khusus. Cap jempol itu sendiri adalah cap yang menggunakan ibu jari yang dibubuhkan biasanya pada suatu dokumen, surat dan/atau akta ontetik, sedangkan Surat kuasa khusus itu menurut Pasal 1795 KUH Perdata adalah pemberian kuasa yang dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih (contoh : Pengacara diberi kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa selaku penggugat). Itulah definisi atau dari pada cap jempol dan juga surat kuasa khusus.

      Lalu bagaimana penerapan hukumnya agar cap jempol itu dapat dikatakan sah jika dibubuhkan pada surat kuasa khusus ? Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul hukum acara perdata tentang gugatan persidangan, penyitaan, pembuktian dan putusan pengadilan, agar surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol itu sah harus di legalisir oleh Notaris atau pejabat yang berwenang. Penegasan tentang legalisasi atas cap jempol itu dikemukakan dalam Putusan MA No.272 K/Pdt/1983 dan juga Putusan MA No.3332 K/Pdt/1991.


Lihat juga : Bedanya Terlapor, Tersangka, Terdakwa dan Terpidana

      Selain itu dalam Pasal 1874 KUH Perdata atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga dijelaskan bahwa : 
" Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. 
Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. 
Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut.
Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud." 

Artinya dalam Pasal 1874 KUH Perdata diatas juga dituliskan bahwa suatu cap jempol yang dibubuhkan pada suatu surat harus diketahui dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, sama seperti yang tertuang dalam Putusan MA No. 272 K/Pdt/1983 dan juga Putusan MA No.3332 K/Pdt/1991. 

      Hal tersebut diataslah yang menjadi syarat agar cap jempol dapat dikatakan sah jika dibubuhkan pada surat kuasa khusus jika dilihat dari pada putusan MA yang di tulis oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya. Memang dalam praktik hukumnya masih ada saja yang menggunakan cap jempol dalam surat kuasa khusus, biasanya orang tersebut sudah sangat berumur dan juga orang itu biasanya berada di daerah pedesaan.

      Namun penting untuk diketahui bahwa surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol itu harus di legalisir oleh Notaris atau pejabat yang berwenang agar dapat dikatakan sah, Tujuannya supaya kerugian yang tidak diharapkan sampai terjadi. Seperti contoh dikabulkannya eksepsi atau tangkisan dari pihak lawan (Tergugat) dalam keberatannya pada sidang di pengadilan terkait tidak sah nya surat kuasa khusus, karena dalam surat kuasa khusus itu pemberi kuasa (penggugat) yang memberi kuasa kepada penerima kuasa dengan membubuhkan cap jempol pada surat kuasa khusus tersebut tidak melegalisir kepada pejabat yang berwenang. 



Demikian Semoga Bermanfaat, Terimaksih. 



Dasar Hukum :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  Atau burgerlijk wetboek voor Indonesie (BW) 


Referensi : 

Harahap, Yahya, 2005. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika : Jakarta


Putusan : 

1.  Putusan MA No. 272 K/Pdt/1983
2.  Putusan MA No.3332 K/Pdt/1991



Penulis : Daniel Lesnussa 



ARTIKEL TERKAIT :